PENGADILAN SEJARAH TERHADAP SOEHARTO

Asvi Warman Adam

Penghentian peradilan kasus mantan Presiden Soeharto membuktikan, bahwa hukum ternyata tidak mampu mengadili bekas orang nomor satu Indonesia itu. Rakyat tidak bisa berharap banyak dari aparat hukum. Mungkin satu-satunya kini yang dapat mengadili Suharto adalah sejarah. Sejarahlah yang akan mengungkapkan fakta-fakta kepada masyarakat. Banyak sekali dakwaan yang dapat diajukan kepada sang Jenderal yang sampai kini tidak bisa diseret ke meja hijau. Salah satu tuduhan terhadap Soeharto adalah keterlibatannya dalam percobaan kudeta G30S dan pengambilalihan kekuasaan sejak 11 Maret 1966.
Preseden di Masa Lalu
Sebelumnya digambarkan tentang masa lalu Soeharto yang dapat menjelaskan berbagai tindakannya kemudian. Di dalam buku otobiografi sang mantan Presiden seperti dipaparkan kepada Ramadhan KH diceritakan, bahwa masa kecil Soeharto tidaklah bahagia. Ibunya, seorang petani yang sakit-sakitan setelah melahirkan dirinya, orang tuanya bercerai. Masa kecil dan remajanya dilewati dengan tinggal dari satu kerabat ke kerabat lain. “Saya mengalami banyak penderitaan yang mungkin orang lain tak harus memikulnya.” Dengan nelangsa ia menceritakan baju yang baru dipasnya mesti ia lepaskan lagi karena ternyata baju itu bukan untuknya, melainkan untuk mas Darsono. “Saya merasa nista (hina). Saya nelangsa, sedih sekali. Waktu itu saya merasa, wah hidup ini kok begini.”
Setelah masuk KNIL dan PETA, dan kemudian ia berkarier dalam tentara nasional. Tahun 1946 ia menjadi komandan Resimen III dengan pangkat Letnan Kolonel. Ketika itu mendapat pesan dari Presiden Soekarno yang disampaikan oleh Sundjojo, Ketua Pemuda Pathuk, untuk menangkap atasannya, Mayor Jenderal Sudarsono, yang dicurigai ingin merebut kekuasaan. Tetapi Suharto menolak, sehingga ia dijuluki Sukarno sebagai “Opsir koppig” (opsir yang keras kepala).
Tetapi Sudarsono malah ingin menghadap ke Istana, setelah membebaskan para pemimpin politik yang ditahan di penjara Wiragunan. Malam itu juga Soeharto membocorkan rahasia ini ke Istana. Besoknya 3 Juli 1946 Sudarsono yang datang bersama rombongan ditangkap pasukan pengawal Presiden. Jadi kalau rencana Sudarsono itu dapat disebut sebagai percobaan “kudeta” yang pertama sejak Indonesia merdeka, maka Suharto diam-diam telah menggagalkannya. Ia memanfaatkan strategi nglurug tanpa bala, memakai orang lain untuk kepentingannya, sebuah siasat yang terus dipergunakannya selama memerintah.
Kasus kedua mengenai serangan umum 1 Maret 1949, yang mengesankan prakarsa itu berasal dari Letkol Suharto sendiri. Padahal Sri Sultan Hamengku Buwono IX memintanya menghadap ke keraton pada 14 Februari 1949, dan menyarankan agar dilakukan serangan tersebut. Foto pertemuan Sri Sultan dengan Soeharto tersebut diserahkan pihak keraton, agar dipasang di Monumen Jogya Kembali, yang dibangun untuk memperingati peristiwa tersebut. Anehnya hal itu tidak dilakukan. Peran Sri Sultan sengaja dihilangkan.
Cukup menarik kesaksian George MT Kahin yang berada di Jogya semasa revolusi. Ia menginap di hotel Merdeka, yang juga ditempati pejabat senior Belanda. Tanggal 9 Januari 1949 gerilyawan Indonesia menyusup sampai ke pintu belakang hotel itu. Terdengar tembakan senapan mesin yang menembus dinding hotel, bahkan peluru mortir mengenai atap Toko Terang, yang berseberangan dengan hotel tersebut. Gerilyawan Indonesia memasang dinamit di bagian belakang hotel itu. Mereka akhirnya dipukul mundur tentara Belanda yang didukung mobil lapis baja. Guru besar sejarah Cornell University ini heran, mengapa peristiwa heroik yang disaksikannya dengan mata kepala sendiri itu tidak tercatat dalam buku sejarah Indonesia. Yang dibesar-besarkan justru serangan umum 1 Maret 1949.
Strategi Komandan
Sebagai tentara yang mengalami tiga jaman, tentu strategi yang dijalankan Soeharto selama berkuasa adalah strategi militer. Strategi kelompok ini – menurut Edward N Luttwak – penuh dengan logika yang paradoksal. Contohnya ketika sepasukan tentara yang menyerang musuh, menemui dua jalan. Yang satu, bagus dan lurus, yang satu lagi jelek, sempit dan berkelok. Dalam situasi normal, orang akan memilih jalan yang bagus. Namun, komandan pasukan mungkin memutuskan mengambil jalan yang buruk, justru karena buruknya ia tidak dijaga musuh. Sebaliknya jalan yang bagus secara strategi adalah buruk, karena ia akan dipertahankan musuh sekuat mungkin.
Adalah mustahil membicarakan strategi Soeharto selama berkuasa 32 tahun dalam satu halaman. Yang bisa disampaikan di sini ada dua hal. Pertama, untuk memahami strategi Presiden Soeharto perlu ditetapkan terlebih dahulu pembagian (periodisasi) masa pemerintahannya. Asumsinya adalah rezim tersebut mengalami tiga fase yang dialami setiap makhluk, yaitu 1) tumbuh, 2) berkembang/jaya, dan 3) mati. Kedua, dapat pula dikatakan bahwa mega-kekuasaan yang dijalankan Soeharto adalah bertahap, makin lama makin canggih.
Masa pemerintahan Soeharto berdasarkan asumsi di atas dapat dibagi tiga periode yang masing-masingnya satu dekade. Angka tahunnya perlu diteliti lag, agar alasan pemilihannya dapat dipertanggungjawabkan. Intinya adalah, dekade pertama ialah masa pertumbuhan, dasawarsa kedua masa perkembangan, dan babak terakhir adalah masa kejayaan dan kejatuhan.
Dalam periode pertama, masuk akal bila dikatakan bahwa strategi Soeharto terutama dilandasi ajaran Jawa “nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasoraké”. Pada dasawarsa berikutnya, setelah kekuasaan makin terpusat di tangannya, ia lebih cenderung menerapkan “tut wuri handayani”. Pada babak terakhir, setelah sampai di puncak kekuasaan, ketika ia pun mulai sangsi akan dirinya, maka dijalankan “waspada purba wisésa”.
Pada awal kekuasaannya ia memang mengatakan bersikap “mikul dhuwur mendhem jero” (maksudnya hanya mengingat jasa-jasa dan melupakan kesalahan orang tua) terhadap Presiden Soekarno. Namun dalam tahap operasional, Soekarno – sebagaimana ditulis oleh sejarawan Perancis, Jacques Leclerc -, telah “dibunuh dua kali” oleh rezim Orde Baru. Pertama, selain oleh penyakitnya, ia dibuat dalam kondisi seperti mengalami tahanan rumah, sehingga keadaan mempercepat kematiannya. Kedua, setelah ia wafat, pemikirannya dilarang disebar-luaskan. Semuanya ini tidak dilakukan sendiri oleh Soeharto, tetapi oleh orang-orang lain. Jadi ia telah berhasil menjalankan “nglurug tanpa bala”, menyerbu tanpa tentara. Dalam dasawarsa berikutnya ia lebih banyak bersikap “tut wuri handayani”, mengikuti dari belakang. Namun Soeharto memakai konsep yang dipopulerkan oleh K.H. Dewantara ini dengan interpretasinya sendiri. Dalam penentuan Wakil Presiden sampai anggota MPR dan Walikota ia campur tangan. Seolah-olah di belakang layar, tetapi sebetulnya ia berada di depan.
Pada masa ini pula terjadi pembunuhan misterius (Petrus) yang diakui oleh Soeharto, yaitu penembakan terhadap para preman atau residivis kriminal, yang mayatnya ditaruh di tempat umum, antara tahun 1983-1985, dengan jumlah korban mencapai 5000 jiwa. Mereka yang terbunuh mempunyai ciri umum, yaitu memiliki tato di tubuhnya. Padahal sebelumnya, keterangan resmi pemerintah di suatu sidang PBB di Jenewa, peristiwa itu adalah akibat konflik antar-geng. Dengan kata lain, Soeharto sebenarnya dapat dituntut karena sedikitnya mengetahui pelanggaran HAM yang amat berat itu, tetapi tidak berusaha mencegah.
Sebagai komandan ia mengerti, bahwa pelaksanaan strategi perlu didukung adanya pasukan andal dan tersedianya logistik. Ia memilih pembantunya yang punya keahlian, loyal dan dapat bekerjasama dalam satu tim. Calon anggota kabinetnya sudah diamatinya sejak lama, seperti Soemitro Djojohadikusumo dan B.J. Habibie. Soepardjo Rustam dikontaknya di Kuala Lumpur, sebelas bulan sebelum menjadi (Pejabat) Gubernur Jawa Tengah, dan baru beberapa tahun kemudian dipromosinya sebagai Mendagri.
Tampaknya paradoksal, meskipun sudah dipersiapkan sejak lama, ia tidak segera mengumumkan anggota kabinetnya. Kepastian itu baru diperoleh saat terakhir, ketika seluruh rakyat Indonesia menonton televisi. Ia menyadari unsur kejutan itu sangat penting dalam strategi. Semua orang boleh menebak, tetapi akhirnya ia yang memutuskan. Tak ada kriteria keberhasilan atau kegagalan seorang Menteri, semua tergantung kepada Presiden. Pengumuman kabinet itu adalah salah satu exercise dari kekuasaan, dan dengan cara demikian pula kekuasaan yang dipegangnya semakin bertambah di mata rakyat.
Bila seseorang telah dipilihnya akan dibelanya mati-matian, sekalipun ia menjalankan kesalahan dalam bertugas. Ia juga sangat memperhatikan kesejahteraan bawahannya. Sebaliknya orang yang mencoba menentangnya secara terbuka, akan dihajar habis-habisan seperti anggota Petisi-50.
Soeharto sangat menyadari pentingnya logistik ini berdasarkan pengalamannya memimpin Teritorium IV di Semarang. Dari sini konon ia ditarik ke Jakarta oleh Jenderal Nasution, karena diduga terlibat penyelundupan. Maka didirikannya Badan Urusan Logistik untuk mengurus kebutuhan pokok rakyat, dan juga yayasan-yayasan untuk menyalurkan bantuan sosial. Kedua lembaga ini dihubungkan oleh para pedagang, yang kemudian dikenal sebagai konglomerat. Berkat monopoli dari Bulog, kelompok pengusaha keturunan plus keluarga Cendana, menebarkan jaring-jaring bisnisnya ke seantero Nusantara. Para konglomerat tentu tak keberatan jika sebagian (kecil) keuntungan mereka diberikan kepada yayasan-yayasan Soeharto.
Ia tahu adagium militer “kemenangan kecil yang diketahui seribu orang jauh lebih bernilai daripada kemenangan besar, yang hanya disaksikan oleh seratus orang.” Keberhasilan dalam pembangunan disampaikan dalam setiap kesempatan, hampir setiap hari muncul di layar kaca. Pidato kenegaraan tiap 16 Agustus didominasi statistik yang telah dibuat sedemikian rupa, berbentuk grafik peningkatan kemajuan.
Ia sangat lihai membungkus ambisi dengan menonjolkan citranya sebagai anak desa, pakai kaos oblong di rumah, murah senyum, suka beternak dan memancing. Namun di balik senyumnya itu, ia mengetahui pembunuhan ribuan orang jalanan yang ditembak Petrus, dan belum lagi kasus-kasus Aceh, Timtim, Lampung, Tanjung Priok dan Irja. Kesederhanaan merupakan peran yang dimainkannya dengan sempurna. Dan permainan ini sudah menjadi bagian dari strategi militer yang paradoksal, dan dilakukan Soeharto secara bertahap. Makin lama makin canggih.
Soeharto nyaris sempurna dalam menerapkan strategi “nglurug tanpa bala” (berperang tanpa pasukan). Dipakainya tangan-tangan orang lain demi kepentingannya. Di sekelilingnya terdapat sederetan wajah yang siap dikecam dan diejek masyarakat, seperti Amir Machmud, Ali Murtopo, Sudomo, Benny Murdani, Gafur dan Harmoko. Sedangkan citra Soeharto sendiri tetap sebagai Bapak yang senantiasa tersenyum. Ia dan lingkungannya bagaikan “The Beauty and the Beast”.
Soeharto seorang komandan yang berdarah dingin. Ia mengetahui rencana pembunuhan misterius (Petrus), yang mengakibatkan ribuan orang jalanan mati, tanpa diadili sebagai “shock therapy” terhadap pelaku kejahatan. Ia memiliki segala sumber informasi, sehingga rangkaian pembunuhan di Timor Timur, Aceh, Lampung, Tanjung Priok, mustahil berlangsung tanpa diketahui olehnya.
Putra petani asal Kemusuk Jogyakarta ini seorang yang tak mau terburu-buru. Pada mulanya, paling tidak sampai Peristiwa Malari tahun 1974, ketika itu kebetulan anak-anaknya juga masih kecil, ia tidak banyak “bermain”. Akumulasi kekayaan dan pembiakan perusahaan keluarganya secara grafik menaik, justru pada masa-masa akhir pemerintahannya. Ia tidak mau kesusu, seakan-akan semuanya dibiarkan berjalan perlahan sesuai proses waktu.
Tanggal 20 Mei 1998 ia lengser keprabon. Yuzril Ihza Mahendra ikut merancang turunnya Soeharto, tanpa melalui pertanggungjawaban kepada MPR yang mengangkatnya. Demi kepentingan penulisan sejarah, sebetulnya perlu diputuskan oleh rakyat status pemberhentiannya: dengan hormat, atau tidak dengan hormat. Sejak itu Soeharto menjadi warga negara biasa, namun masih diperlakukan secara luar biasa.
Kudeta Merangkak
Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto, sebagaimana kita tahu, tidak berlangsung secara wajar. Pertama diawali dengan (percobaan) kudeta 1 Oktober 1965. Diakhiri dengan keluarnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966, yang secara de facto memberikan kekuasaan kepada Mayjen Soeharto.
Periode 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 disebut oleh Y. Pohan (Who were the Real Plotters of the Coup against President Soekarno; 1988) sebagai “kudeta merangkak”. Saskia E. Wieringa menamai peristiwa tahun 1965 sebagai kup pertama, dan tahun 1966 sebagai kup kedua. Peter Dale-Scott melihatnya sebagai kudeta tiga tahap. Pertama, Gerakan 30 September yang merupakan “kudeta gadungan”; kedua, tindakan balasan yang berupa pembunuhan terhadap anggota PKI secara massal; dan ketiga, pengikisan sisa-sisa kekuatan Soekarno.
Soeharto sendiri selaku Menteri/Pangad, di muka Musyawarah Nasional Pertanian Rakyat, 2 Desember 1965, pernah menyebut tentang operasi tiga tahap ini, meskipun untuk merujuk kepada PKI. Dikatakannya ada tiga macam operasi G30S, yaitu Operasi Ampera I, II, dan III. Gerakan Ampera I merupakan kudeta di pusat pemerintahan; Ampera II berupa tindakan pembunuhan massal terhadap pemimpin politik lawan; sedangkan Ampera III, yaitu pembentukan kabinet baru, yang komposisinya sesuai dengan keinginan PKI. (Soegiarso Soerojo, G30S-PKI dan Peran Bung Karno: Siapa Menabur Angin, Akan Menuai Badai; 1988, hal. 272).
Hal itu dikemukakan Mayjen Soeharto karena kabinet yang dibentuk Presiden Soekarno setelah Peristiwa 1 Oktober 1965 masih menampung unsur komunis. Tetapi kalau kita melihat tiga fase itu dalam konteks peralihan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru, maka tahap-tahapnya tidak jauh berbeda. Hanya saja kata “PKI” yang dalam tahap terakhir itu perlu diganti dengan “Soeharto”.
Mengenai keterlibatan Soeharto dalam Persitiwa 1 Oktober 1965, yang disebut sebagai Kup Pertama itu, saya setuju dengan apa yang ditulis oleh saskia E. Wieringa (1999: 497-498): “Besar kemungkinan Jendral Soeharto, …, sudah tahu sebelumnya tentang akan terjadinya kup …” Kemungkinan sekali, seperti disimpulkan oleh Tornquist (1984: 230): “Soeharto menunggu sambil melihat apa yang akan terjadi, dan kemudian pada saatnya dipecundanginya baik Soekarno maupun Nasution.”
Pada paragraf berikutnya Saskia menulis: “Ketika akhirnya Soeharto bertindak, ia melakukannya dengan cepat dan tegas. … sejak saat itu, … ia telah memulai dengan siasatnya untuk menggulingkan Soekarno sambil memarakkan diri sendiri ke atas tampuk kekuasaan. Ia pasti menyadari, bahwa yang diperlukannya bukan sekedar pameran kekuatan militer … Adanya para perempuan di Lubang Buaya itulah yang digunakan sebagai amunisi oleh Soeharto, demi transisi mental yang diangankannya itu. Dengan itu bukan hanya perempuan yang berhimpun di sana akan dimusnahkannya dengan segala daya, tetapi juga kaum Komunis dapat dijatuhkannya sama sekali. Sementara itu Soekarno, yang menunjukkan dukungannya pada PKI, dapat dipertontonkan olehnya sebagai pemimpin yang tak becus. Kegagalan Soekanro melindungi PKI dapat dilihat sebagai isyarat pudarnya wahyu kekuasaan dan ketiada-dayaan, hingga sudah pasti Soekarno akan bisa dilenyapkannya dari percaturan (politik)”.
Mengenai Supersemar, sekalipun banyak kisah yang kontroversial di situ, tetapi secara umum dapat disimpulkan bahwa surat tersebut tidak dibuat Presiden Soekarno dengan suka rela. Meskipun tidak ada todongan senjata, dapat dipahami bahwa penulisannya dilakukan di bawah tekanan. Dalam kup pertama, mungkin Soeharto bukan satu-satunya dalang peristiwa itu, tetapi yang jelas ia sudah mengetahui sebelumnya. Dan Soeharto adalah orang yang paling diuntungkan dari “percobaan kudeta” yang gagal itu. Pada kup kedua, mungkin saja ia bisa berdalih tidak memaksa Soekarno. Tetapi kenyataan, bahwa tiga jenderal pembantunya telah membuat Soekarno dalam keadaan terpaksa, untuk membuat Surat Perintah tersebut. Sehelai Surat yang pada hakikatnya merupakan perintah penyerahan kekuasaan secara de facto.
Kalau diperhatikan, dalam periode 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966, tampak perkembangan peristiwa yang demikian cepat dan luar biasa. Soeharto memang seorang ahli strategi yang andal. Dulu saya tidak begitu yakin tentang penyebutan periode enam bulan setelah Peristiwa 1 Oktober sebagai “kudeta merangkak”. Sebelumnya saya bahkan menulis, ini adalah “sebuah drama tanpa sutradara dan skenario yang ketat. Soeharto bukan dalang, melainkan pemain yang mampu berimprovisasi, termasuk berpura-pura sakit ketika absen dalam sidang kabinet 11 Maret 1966″. Namun bukti-bukti memaksa saya untuk meninjau ulang pendapat di atas, termasuk data yang disampaikan Subandrio dan Heru Atmodjo.
Konflik Intern Militer
Setahun setelah peristiwa yang berkubang darah itu, dua ilmuwan Cornell University Amerika Serikat, Benedict R. Anderson dan Ruth Mc.Vey menulis kertas kerja A Preliminary Analysis of the October 1, 1965: Coup in Indonesia, yang kemudian terkenal sebagai Cornell Paper. Kedua ilmuwan ini berkesimpulan, bahwa Peristiwa G30S merupakan puncak konflik intern di tubuh Angkatan Darat. Sedangkan Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia (1978) menulis, bahwa menjelang 1965 SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi ini sebetulnya sama-saam anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Soekarno. Yang pertama adalah “faksi tengah” yang loyal terhadap Presiden Soekarno, dipimpin oleh Men/Pangad Mayjen A.Yani, hanya menentang kebijakan Soekarno tentang persatuan nasional yang di dalamnya PKI termasuk. Sedangkan kelompok kedua, “faksi kanan”, bersikap menentang kebijakan Yani yang bernafaskan Soekarno-isme. Di dalam faksi ini terdapat Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto. Menjelang 1965 Soekarno mencium faksionalisme di dalam tubuh AD itu, dan mulai memecah belah kedua kubu tersebut.
Peristiwa yang berdalih menyelamatkan Soekarno tersebut, sebenarnya ditujukan kepada perwira-perwira utama yang ada di dalam “faksi tengah”. Dengan demikian, menurut Cornell Paper, akan melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan AD. Sementara itu WF Wertheim, dalam Whose Plot? New Light on The 1965 Events (1979), di samping mendukung versi di atas juga menambahkan, bahwa Syam Kamaruzaman yang dalam Buku Putih Sekneg disebut sebagai Kepala Biro Khusus CC PKI, seorang “agen rangkap” yang bekerja untuk DN Aidit sekaligus untuk Angkatan Darat.
Bukan hanya lembaga dan kelompok, pribadi tokoh pun dikaitkan dengan peristiwa tersebut. Menurut Antonie Dake dan John Hughes, Presiden Soekarno terlibat dalam intrik itu. Menurut mereka G30S adalah skenario yang disiapkan Soekarno, untuk melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi AD. PKI ikut terseret, akibat sikapnya yang sangat bergantung kepada Soekarno. Belakangan ini tokoh yang disoroti sebagai mempunyai andil dalam gerakan tersebut, ialah Jenderal Soeharto sebagaimana dituduhkan oleh bekas anak buahnya sendiri, Kolonel Latief.
Keterlibatan Asing
Selain unsur dalam negeri faktor asing juga ikut berperan. Peristiwa 1965 konon didukung oleh CIA, seperti dikemukakan Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson. Menurut versi ini dalang utama G30S adalah CIA yang ingin menjatuhkan Soekarno dan kekuatan komunis (teori domino). Untuk itu CIA bekerjasama dengan sebuah klik di dalam AD untuk memprovokasi PKI. Apalagi kalau kita membaca buku George M.T. Kahin tentang keterlibatan CIA dalam kasus PRRI dan Permesta beberapa waktu sebelumnya, maka bukan mustahil jika CIA memang juga memegang peranan dalam percobaan kudeta 1965 itu.
Seperti kita ketahui Peristiwa 1965 itu terjadi pada masa perang dingin, tatkala Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya berseteru dengan negara-negara Komunis. Amerika Serikat yang ketika itu sedang menghadapi Perang Vietnam, tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan Komunis. Menurut David T. Johnson (1976) terdapat enam skenario yang dapat dijalankan Amerika Serikat untuk menghadapi situasi yang emanas di indonesia: 1) membiarkan saja, 2) membujuk Soekarno agar merubah kebijakan, 3) menyingkirkan Soekarno, 4) mendorong Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan, 5) merusak kekuatan PKI, dan 6) merekayasa kehancuran PKI dan sekaligus kejatuhan Soekarno. Ternyata skenario terakhir itulah yang dianggap paling menguntungkan dan tepat untuk dilaksanakan.
Aspek Lokal
Tulisan Coen Holtzappel dalam Journal of Contemporray Asia, vol. 2 1979, dapat dipandang dalam konteks skenario ke-6 yang dikemukakan David T. Johnson tersebut di atas. Operasi G30S dilakukan oleh tiga pasukan, yaitu Pasopati, Pringgodani (dalam versi sejarah resmi disebut Gatotkaca), dan Bimasakti. Penculikan para jenderal dilakukan oleh pasukan Pasopati. Setelah itu mereka diserahkan kepada pasukan Pringgodani, yang mengkoordinir kegiatan di Lubang Buaya. Sedangkan pasukan Bimasakti bertugas menguasai RRI, telekomunikasi dan teritorial.
Dengan bersumber pada hasil pengadilan Untung dan Njono, Coen Holtzappel mencurigai kegiatan pasukan Pringgodani, dalam melaksanakan kegiatan kudeta yang memang dirancang untuk gagal. Pembunuhan beberapa jenderal di Lubang Buaya, yang belum semuanya tewas, dilakukan oleh pasukan Pringgodani. Gugurnya para perwira tinggi AD itu menyebabkan Presiden Soekarno tidak mau mendukung gerakan tersebut, dan memerintahkan kepada Brigjen Soepardjo untuk menghentikan operasinya. Coen menuding Mayor (Udara) Suyono dan Syam Kamaruzaman sebagai tokoh sentral, yang mengendalikan pasukan Pringgodani tersebut. Plot yang tidak matang itu menyebabkan G30S dapat ditumpas dengan cepat, dan PKI yang dianggap sebagai dalang kudeta kemudian dihancurkan. Sedangkan Soekarno tidak mau baik mengutuk PKI, maupun mendukung dijatuhkannya PKI.
Kesimpulan Sementara
1) Tuduhan semakin menjurus kepada adanya persekongkolan suatu kelompok kecil di dalam Angkatan Darat plus Angkatan Udara, yang mencoba menangkap dan menghadapkan beberapa jenderal kepada Presiden Soekarno.
2) Tindakan itu untuk mendahului isu kudeta oleh “Dewan Jenderal”, yang oleh kelompok tersebut dipercayai akan terjadi menjelang 5 Oktober 1965.
3) Kegagalan gerakan yang dilakukan serampangan itu memberi kesempatan kepada tentera (TNI) untuk menghancurkan musuh besar mereka, yaitu PKI, serta melakukan konsolidasi di kalangan ABRI yang ketika itu terpecah, dan sekaligus menciptakan aliansi dengan kelompok lain dalam masyarakat, seperti mahasiswa dan umat Islam, untuk menghadapi “musuh bersama” yang dianggap sebagai “anti-Tuhan”.
4) Dalam rancangan kudeta yang sengaja dipersiapkan untuk gagal itu, Soeharto dapat bermain melalui (bekas) anak buahnya dari Kodam VII/Diponegoro Jawa Tengah, seperti Untung dan Latief di satu pihak dan Yoga Sugomo dan Ali Murtopo di lain pihak.
5) Plot itu secara langsung atau tidak langsung sejalan dengan strategi penghancuran Komunis oleh pihak Barat.
6) Meskipun peristiwa ini berlatar belakang global (situasi perang dingin), namun – secara paradoks – sumber permasalahannya dapat pula dicari bukan hanya pada level nasional, tetapi juga pada tingkat lokal. Makin kuat dorongan untuk meneliti aspek lokal, seperti sejauh mana keterlibatan Kodam VII/Diponegoro atau, yang lebih kecil lagi, grup pasukan Pasopati.
7) Selama ini Syam Kamaruzaman dicurigai sebagai “double agent”, agen PKI sekaligus intel AD. Seandainya bisa dibuktikan, bahwa Syam adalah “triple agent”, yaitu selain fungsinya tersebut di depan, ia juga spion atau tokoh yang berhasil dipengaruhi CIA, seperti dituduhkan oleh Subandrio, maka ia telah menyambungkan berbagai faktor kunci menjadi satu rangkaian.
Penutup
Sebetulnya kalau mau memenjarakan Soeharto mudah saja. Ia bisa dijerat hukuman pidana karena dugaan menyimpan Supersemar. Sampai hari ini arsip asli dokumen tersebut belum diserahkan kepada Arsip Negara RI. Ibarat ijazah, tentu si pemiliknyalah yang menyimpannya dengan hati-hati. Bagi jenderal Soeharto, Supersemar seribu kali lebih berharga daripada ijazah – yang memang tidak dipunyainya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan, fasal 11 berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam fasal 1 huruf a Undang-Undang ini, dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun.”
Di tengah maraknya tuntutan masyarakat mantan Presiden RI itu tetap tidak mengaku bersalah. Demikian tutur Sulastomo, mantan Ketua Umum HMI, setelah bertemu Soeharto sesudah ia lengser pada 26 Januari 1999. Dalam kasus Mobnas, misalnya, ujar dokter yang gemar menyelenggarakan turnamen golf ini, “Pak Harto tetap yakin keputusannya tepat, yakni dalam rangka memandirikan ekonomi bangsa” (Republika, 12-2-1999). Sulit diadili orang yang sampai akhir hayatnya tidak merasa salah. Yang tepat untuk itu memang hanya pengadilan sejarah.
Catatan Tambahan
SUBANDRIO DAN HERU ATMODJO
MENGARAH KEPADA SOEHARTO
Baru-baru ini terbit dua publikasi yang memberikan beberapa data baru tentang Peristiwa G30S. Yang pertama berupa buku yang disusun berdasar wawancara dengan Dr H Soebandrio, “Kesaksianku tentang G-30-S”. Yang kedua berupa artikel wawancara Carmel Budiardjo dengan (mantan) Kolonel (Udara) Heru Atmodjo, G30S, an army intelligence operation, yang [Red.: ketika makalah ini ditulis] akan dimuat dalam buletin Tapol (London) edisi mendatang.
Subandrio memegang tiga jabatan penting sekaligus pada tahun 1965, yaitu sebagai Waperdam I, Menteri Luar Negeri, dan Kepala BPI (Biro Pusat Intelijen). Kesaksiannya sangat penting, karena ia termasuk pelaku sejarah yang menyaksikan peristiwa 1965 pada “lingkaran RI 1″, dan yang sampai sekarang masih hidup dalam usia 86 tahun. Terdapat beberapa data sejarah yang disampaikan olehnya yang kurang akurat, sebetulnya menjadi tugas penyunting untuk mengeceknya, namun secara keseluruhan kesaksiannya ini memberikan data baru tentang keterlibatan Soeharto dalam kudeta merangkak 1965-1966.
Ia menganalisi keterlibatan Soeharto itu melalui dua kategori (bakss) anak buahnya di Kodam VII/Diponegoro. Pertama, Letkol Untung dan Letkol Latief yang akan menghadapkan Dewan Jenderal kepada Presiden Soekarno, dan ini sepengetahuan Soeharto. Kedua, Yoga Sugomo dan Ali Murtopo, yang dulu berjasa (melakukan manuver dan operasi intelijen) untuk menjadikan Soeharto sebagai Panglima Kodam VII/Diponegoro. Yoga Sugomo ditarik Soeharto ke Jakarta, untuk menjadi Kepala Intel Kostrad, pada bulan Januari 1965, ketika ia sedang bertugas di Yugoslavia.
Subandrio meragukan Soeharto pulang ke rumahnya setelah membesuk anaknya, Tommy, di RSPAD Gatot Subroto, pada 30 September 1965 malam. Rasanya mustahil. Esok paginya Soeharto dibangunkan oleh tetangga, yang memberi tahu tentang penculikan beberapa jenderal. Subandrio mempunyai dugaan kuat, bahwa Soeharto justru bermalam di markas Kostrad memonitor perkembangan peristiwa, menganalisis situasi, dan mempersiapkan langkah yang akan diambil.
Yang terjadi kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1965, sudah sama-sama diketahui umum. Yang menarik yaitu, bahwa trio pertama (Soeharto-Untung-Latief) merupakan trio untuk dikorbankan; sedangkan yang selanjutnya dipakai ialah trio yang kedua (Soeharto-Yoga Sugomo-Ali Murtopo). Letkol Untung sampai akhir hayatnya tidak merasa yakin, bahwa ia akan dieksekusi seperti dituturkannya kepada Subandrio di penjara Cimahi. Ia merasa Soeharto bekas atasannya, dan yang dianggap sebagai kawan dalam Peristiwa G30S. Latief juga bekas bawahan Soeharto yang merasa dikhianati, seperti terungkap dalam buku pleidoi dan memoarnya.
Mengenai tanggal 11 Maret 1966 Subandrio juga mengungkapkan keganjilan tingkah Soeharto, yang tidak hadir dalam rapat kabinet hari itu dengan alasan sakit. Padahal sore harinya ia memimpin rapat di markas Kostrad. Menurut Subandrio jika Soeharto hadir pada sidang kabinet hari itu, ia akan menghadapi kesulitan karena waktu itu di depan Istana ada demonstrasi mahasiswa, dan berkeliarannya pasukan yang tidak dikenal – kemudian diketahui sebagai pasukan yang dipimpin oleh Kemal Idris. Tentu Presiden Soekarno akan memerintahkannya menghadapi mahasiswa dan tentara tersebut, yang justru dialah yang menggerakkannya untuk mengancam Soekarno.
Pada tanggal 11 Maret 1965 itu juga tiga orang jenderal, setelah mereka berapat di rumah Soeharto di Jalan H.Agus Salim, berangkat menemui Soekarno. Dalam kesaksian Subandrio digambarkan unsur tekanan yang diberikan oleh ketiga Jenderal itu kepada Presiden Soekarno.
Subandrio menyimpulkan rangkaian peristiwa, dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966, sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap. Tahap pertama, menyingkirkan saingannya di dalam tubuh Angkatan Darat, seperti Jenderal A. Yani dan lain-lain. Tahap kedua, membubarkan PKI sebagai rival terberat TNI ketika itu. Tahap ketiga, melemahkan pendukung Presiden Soekarno dengan menangkap 15 menteri yang Sukarnois, termasuk Subandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno.
Dalam wawancara Heru Atmodjo dengan Carmel Budiardjo juga diungkapkan keganjilan dalam Peristiwa G30S. Misalnya tentang pasukan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang diperintahkan datang di Jakarta dengan peralatan tempur sebelum 5 Oktober 1965. Ali Murtopo berperan dalam mengendalikan pasukan Kostrad yang ada di Monas. Ali Murtopo mempunyai kedekatan dengan Dul Arip, yang memimpin pasukan Pasopati, dan demikian juga dengan Jahurup yang memimpin penculikan yang gagal di rumah Jenderal Nasution. Jahurup kemudian membubarkan pasukannya di Tambun Bekasi, sedangkan Dul Arip melarikan diri ke Brebes. Kedua orang itu kemudian menghilang dan tak pernah muncul di depan Mahmilub.
Menurut Heru Atmodjo ada saksi mengatakan, bahwa Dul Arip dihabisi oleh Ali Murtopo. Itulah sebabnya judul artikel yang akan dimuat buletin Tapol tersebut di atas menyatakan, bahwa G30S adalah operasi intelijen tentara.
Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI.
Makalah pokok di atas disampaikan pada peserta Lokakarya “Historical Memories” Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YSBI) -Yayasan Lontar di Yogyakarta 8 November 2000.